Rabu, 22 Februari 2017

Di Runyamnya Takdir

Sepi menghampar wajah langit
Dia yang hari ini bersalin kulit
Awan hitam penuh selulit
Legam terbersit

Mata menjelajah diam
Bertanya pada relung-relung kelam
Akankah sepi belum akan terbenam
Pada sepi raut wajah runyam

Gejala alam yang mulai akrab
Saat kau pergi membawa marah
Tenggelam jauh dan lama
Demi mengejar berkah seribu kali melebihiku

Ibu tertunduk di depan perapian
Kuyu dengan bahu kurus bergetar
Air mata menetes
Mengukir lingkar-lingkar kecil debu arang

Dan selalu aku begitu rindu peraduan
Menyapu relief bilah-bilah bambu
Di redupnya langit anganku
Mengorek simpul tali rotan dimana ku penjarakan setiap runyam hatiku

Kini aku sudah dewasa dan gagah
Tapi aku yang dulu kecil dan lusuh
Tetap hidup abadi dalam jiwaku
Kedewasaan ini hanya sebuah amarah

Amarah yang tumbuh dari kanak
Saksi setia pada tiap-tiap tangis ibu
Dari bening mata bocah
Yang melukis pada celah sempit dinding bambu

Ahhh...
Sudah dulu...
Terlalu kecil penjara itu
Takan muat menampung runyam yang ini

Aku kembali begitu rindu peraduan...